MANAGED BY:
MINGGU
28 MEI
BANUA | HUKUM & PERISTIWA | BISNIS | RADAR MUDA | FEATURE | SPORT | RAGAM INFO | PROKALTORIAL | FEMALE

FEATURE

Sabtu, 25 Maret 2023 11:06
Jejalah Potensi Wisata Paminggir (3): Ramai Pembeli Saat Bulan Maulid

Sejak kecil, anak-anak di Desa Sapala sudah diajari menggembala dan beternak kerbau rawa.

Oleh: WAHYU RAMADHAN, Amuntai

TENANG, penulis tak diseruduk. Hadangan (kerbau) itu hanya melotot. Lagi pula masih ada jarak beberapa meter, cukup untuk mengelak.

Dan kerbau rawa pada dasarnya cukup mimak–artinya jinak. Bahkan bisa ditunggangi. Tapi sejinak apapun, tetap saja penulis kesulitan membedakan wajah antar kerbau. Semuanya terlihat sama saja. 

Dari kalang (kandang) pertama, rombongan Pokdarwis Pesona Rawa Sapala mengajak kami mendatangi kalang lainnya.

“Kali ini, kalang dan hadangannya lebih banyak,” kata Firdaus.

Perahu yang kami tumpangi kembali membelah padang rawa. Berbelok menuju hutan.
Di balik pepohonan, di atas danau ada lima kalang berjejer. Hanya satu kalang yang memiliki pondok penggembala. Pemilik kelima kalang ini ternyata masih berkerabat dekat.

Di bawah pondokan, penulis berkenalan dengan Rabiani. Usianya baru 19 tahun, tapi sudah memiliki sebuah kalang. Riabiani sedang bersiap mamburu (menghalau) kerbaunya agar kembali ke kandang. Di kalang sebelumnya, penulis telah menyimak penjelasan Hamidan. Ia sudah mengurus kerbau rawa sejak kelas V SD. Diajari orang tua dan kakaknya.

Sejak kecil ia sudah diajak menjelajahi wilayah yang kaya pakan. “Pas kelas I SMP, akhirnya saya bisa merawat dan beternak sendiri,” ungkap Hamidan. Bertahun-tahun ia belajar membedakan hadangan yang bisa hamil dan yang tidak, hanya dari melihat postur kerbau. 

“Yang subur itu tubuhnya melengkung. Kalau bulat atau biasa kami sebut walang, itu pasti tidak akan punya anak,” jelasnya.

Melihat Rabiani, penulis yakin, pemuda ini juga belajar beternak sejak kecil. Sama seperti Hamidan.

Pemandu dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel lantas menawari rekan-rekan wartawan untuk melihat lebih dekat. Caranya dengan menumpang sampan penggembala. Tawaran itu kami sambut dengan antusias.

Penulis memilih menumpang sampan Rabiani. Mendekati hadangan, ia mengeluarkan bunyi-bunyian dari mulutnya.

Seperti desis ular, tapi nyaring. Berulang-ulang sambil mengacung-acungkan galah. Mengikuti komando, kerbau rawa perlahan berenang menuju kalang.

Rabiani kemudian membagikan kisahnya. Bahwa ia baru enam tahun menggembala hadangan miliknya sendiri. “Dahulu saya ikut bantu-bantu orang tua saja. Melihat-lihat bagaimana cara menggembala,” tuturnya.

Seiring waktu, oleh orang tuanya, ia dikasih modal dua ekor. Hingga beranak pinak dan sekarang lebih 20 ekor.

Diakui Rabiani, menggembala kerbau rawa sebenarnya cukup gampang. Kandang dibuka, mereka bisa mencari makan sendiri. Hanya perlu sesekali diawasi agar tak terpisah dari kelompoknya.

“Kerbau rawa itu, dua jam setelah lahir sudah bisa menyusu, berdiri, dan berenang. Tapi bukan berarti bisa langsung dilepas,” tekannya.

“Kerbau baru lahir masih perlu dekat dengan induknya,” ucapnya.

Bungsu dari empat bersaudara itu pernah merasakan diseruduk induk kerbau. “Saya diseruduk ketika ingin menghalau anak kerbau. Induknya mengira saya mengganggu anaknya,” kisahnya.

“Saya tidak terluka. Tapi kalau mengingat itu, saya merasa lucu sendiri,” sambungnya.
Rabiani biasanya menuju kalang sebelum jam 6 pagi. Ketika cuaca mulai terang, kalang dibuka.

Sebelum kembali ke desa, ia mengecek dulu ke mana kerbau-kerbau itu mencari makan.
Menjelang petang, Rabiani kembali ke kalang. Seperti Rabu (15/3) sore itu, ketika kami bertemu.

Apakah Rabiani tak tertarik dengan pekerjaan lain? Ia menjawab, sudah cukup bahagia bersama kerbau rawa. “Apalagi bila jumlahnya banyak,” tukasnya.

Ah, siapapun akan senang. Sebab harga seekor hadangan antara Rp18 juta sampai Rp20 juta.

Cara menjualnya, pembeli yang datang sendiri ke kalang. Paling ramai pada bulan maulid (Rabiul Awal dalam kalender Hijriah). “Bisa laku sampai tiga ekor,” sebutnya.

Tak terasa, hari mulai menggelap. Semua kerbau pun sudah naik ke kalang. Saatnya rombongan kembali ke desa.

Sebelum pulang, penulis bertanya kepada Rabiani, adakah keinginan yang lain? “Saya mau melanjutkan sekolah. Mau mondok ke Pesantren Darussalam (di Martapura). Semoga bisa tahun ini, doakan saja,” tutupnya.

Pas magrib, kami meninggalkan Rabiani. Dari radio HT motoris terdengar kabar baik. Makan malam sudah siap. Menunya adalah saluang kering dan patin masak kuning. Ah, lezatnya. (bersambung)

 

 
 
 
 
 

 

 

loading...

BACA JUGA

Rabu, 23 September 2015 09:58

Gudang SRG Kebanjiran Gabah

<p style="text-align: justify;"><strong>MARABAHAN</strong> &ndash; Memasuki…

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers