Desember 2017, warga Desa Sapala dirundung murung. Banyak ternak kerbau rawa yang mendadak sakit kemudian mati. Penyebabnya tak pernah terungkap.
Oleh: WAHYU RAMADHAN, Amuntai
KABUPATEN Hulu Sungai Utara (HSU) memiliki luas 892,7 kilometer persegi. Dari 10 kecamatan, Paminggir adalah kecamatan dengan wilayah terluas–196,78 km persegi. Paminggir membawahi tujuh desa: Tampakang, Palbatu, Bararawa, Sapala, Ambahai, Paminggir dan Paminggir Seberang.
Sapala adalah desa terluas. Mencapai 22,04 km persegi. Kepala Desa Sapala, Junaidi menyebut desanya dihuni 525 keluarga.
Mayoritas adalah nelayan atau penambak ikan. Berikutnya peternak kerbau rawa.
Bagaimana dengan sarang walet? Mengingat saat menjelajahi perairan Paminggir, penulis melihat ada puluhan sarang walet berdiri.
“Memang ada banyak sarang walet di sini. Tapi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa panen,” kata Junaidi, Rabu (15/3).
“30 persen warga sini beternak kerbau rawa. Jumlah kandangnya ratusan,” sebutnya. Data terakhir, ada 1.094 ekor hadangan di Sapala. Populasi kerbau rawa juga tersebar di Desa Bararawa, Ambahai dan Paminggir.
Namun, ada sejumlah masalah yang mengganggu peternak. Pertama, pakan yang terus berkurang. Selama tiga tahun terakhir, Paminggir tak pernah dilanda kemarau. Anomali cuaca. “Rumput yang menjadi pakan kerbau rawa tak bisa tumbuh. Karena air selalu pasang,” ungkapnya.
Musim kemarau di HSU biasanya terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Namun kini, semakin tak menentu.
“Buktinya, Januari tadi sempat kemarau. Tapi hanya selama dua pekan saja. Mana bisa rumput tumbuh subur,” keluhnya.
Senada dengan Rahmatullah. Ia penyuluh pertanian di Sapala. Menyiasati pakan ternak yang terus berkurang, para peternak mesti berusaha ekstra.
“Peternak mesti mencari atau membuat sendiri lahan untuk menumbuhkan rumput,” ucapnya.
Persoalan kedua, sulitnya pencegahan penyakit hewan ternak. Sejauh ini, penyuluh hanya bisa menyediakan pengobatan untuk ternak sakit. Bukan pencegahan.
“Itu karena obatnya mahal. Pendanaannya juga terbatas,” ujarnya.
“Sementara kerbau rawa di sini banyak sekali. Ketika lambat dicegah atau ditangani, kerbau bisa sakit lalu mati,” tekannya.
“Seharusnya bisa dicegah dengan pemberian obat secara berkala,” lanjutnya.
Contoh 2017 silam. Tahun yang paling kelam bagi penduduk Sapala. Kerbau rawa kena diare, mengeluarkan cairan kuning hingga lemas dan mati.
Mewabah selama berbulan-bulan. Tanpa pernah diketahui apa penyebabnya. “2017 itu yang terdampak bukan hanya Sapala, desa-desa lain juga,” kata Rahmatullah.
Junaidi ingat, jumlah kerbau yang mati sampai tak terhitung lagi. “Dari ratusan kerbau tersisa puluhan,” kenangnya muram.
Salah satu korbannya adalah Firdaus, ia Bendahara Pokdarwis Pesona Rawa Sapala.
Diceritakannya, dalam sehari, di kandang miliknya ada saja satu dua ekor kerbau mati.
“Menyerang banyak kerbau betina. Alhasil, ternak pun sulit berkembang biak,” ungkapnya.
Penyakit misterius itu muncul lagi pada akhir 2021 hingga awal 2022.
“Dari 55 kerbau milik bapak, tersisa 25 ekor saja. Kalau ditotal, di satu desa ada 500 ekor yang mati,” bebernya.
“Peristiwa kedua itu juga menyerang kerbau pada umur masih menyusu dan pisah susu,” ujarnya.
Di pasaran, harga kerbau rawa anjlok. Lantaran banyak peternak yang memilih menyembelih kerbaunya sebelum mati. “Harga kerbau jadi Rp2 juta hingga Rp3 juta saja seekor. Bahkan saking banyaknya yang menjual, tak ada lagi yang mau membelinya,” lanjutnya.
Apakah penyebabnya pernah diselidiki? Pernah ada instansi yang datang mengambil sampel. Tapi apa hasil uji laboratoriumnya, warga tak pernah diberi tahu.
Junaidi dan Rahmatullah sampai hari ini masih bertanya-tanya apa hasil uji sampel itu.
“Ada yang bilang, diduga terserang penyakit hati lalu merembet ke penyakit lain,” katanya.
Penyakit cacing hati memang bisa menyerang hewan ternak. Penyakit itu dibawa cacing atau siput air tawar yang bertelur di rerumputan.
“Tapi, apakah penyakit cacing hati bisa sampai menghabiskan satu kalang dalam waktu singkat?” tanya Firdaus. (Bersambung)