Desa Sapala memiliki paket wisata lengkap, susur rawa dan habitat satwa endemik Kalimantan. Bukan hanya menjual kerbau rawa saja.
Oleh: WAHYU RAMADHAN, Amuntai
RABU (15/3) malam, cuaca Desa Sapala begitu dingin. Tapi perbincangan antara penulis dengan Hamidan, Rahmatullah, dan Firdaus begitu hangat.
Sembari menyesap kopi di warung tepian rawa Paminggir, kami tak lagi membahas penyakit misterius yang menghantam kerbau rawa di tahun 2017 silam.
Perbincangan beralih tentang apa saja potensi wisata di Desa Sapala.
“Wah, kalau spot mancing, jangan ditanya lagi. Banyak banget,” ucap Hamidan.
Bayangkan, sebuah lokasi pemancingan di tengah-tengah danau, berdekatan dengan kalang hadangan (kandang kerbau rawa).
Selama ini, sudah banyak mancing mania dari luar Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) yang datang kemari. “Dari Barabai, Kandangan, Tanjung, semuanya ke sini,” ungkap kepala desa Junaidi.
“Kami sedang menggodok paket wisatanya. Sambil susur sungai atau jelajah rawa,” tambahnya.
Apakah hanya itu? Di sini ternyata juga ada habitat burung belibis.
“Enak lho dagingnya. Kalau mau berburu, ayo ikut saya,” ujarnya menawari.
Sayang, waktu penulis cukup singkat. Kamis (16/3), rombongan jurnalis yang dibawa Walhi ini sudah harus pulang.
Kembali ke Hamidan dan Rahmatullah, keduanya mengajak penulis untuk melihat habitat bekantan. Tapi sebelum itu, melihat hadangan dilepasliarkan dulu. Celakanya, besoknya, penulis malah bangun kesiangan. Malam itu, tidur kami terlalu nyenyak. Syukur, masih ada hadangan yang diturunkan dari kalang pada jam 8 pagi.
Salah seorang relawan Walhi coba menunggangi hadangan. Membuktikan bahwa kerbau itu jinak. Ia bahkan turun menyelam bersama hadangan. Aksi yang sungguh hebat.
Di dalam kandang, tampak anak hadangan berkulit putih kemerah-merahan. “Di antara puluhan atau ratusan hadangan, pasti ada yang lahir dengan warna seperti itu,” jelas Hamidan.
Mulanya, penulis mengira hadangan albino itu lebih mahal. Ternyata, harganya justru lebih murah.
“Misalnya seekor hadangan biasa Rp18 juta, maka hadangan putih itu harganya dikurangi Rp1 juta,” jelasnya.
Puas menyaksikan hadangan, perahu kembali membelah rawa. Masuk ke arah sungai.
Di situ banyak pondok apung. Di sampingnya ada kalambau. Jaring-jaring halus yang digunakan untuk mengurung ikan. Seperti keramba.
Di dalam kalambau ada ikan baung, patin, nila, lundu, gabus, dan sepat siam.
Perahu terus melaju, menuju muara Kecamatan Jenamas, Kabupaten Barito Selatan. Di sinilah biasanya bekantan itu nongkrong.
Perjalanan kami tak selalu mulus. Beberapa kali kami terjebak di rawa. “Kalau tidak begini (terjebak rawa), tak asyik. Pengalamannya jadi kurang,” kata Fauzi, anggota rombongan.
Kurang dari setengah jam, kami tiba di muara Jenamas. Dahulu, Jenamas adalah kecamatan yang masuk wilayah HSU.
Belakangan, Jenamas memutuskan bergabung ke Barsel, Kalteng. Terjadi ketika Danau Panggang menjadi kecamatan tersendiri.
Perahu mesin ditambatkan. Kami menjejakkan kaki di perbatasan Paminggir itu. Dari atas jembatan kayu kami mengamati bekantan.
Ada banyak bekantan di sana, tapi jaraknya terlalu jauh untuk dijangkau kamera ponsel. Monyet hidung panjang ini memang terkenal pemalu. Ia akan menjaga jarak dengan manusia.
Motoris perahu kami, Ating mengakui, musim hujan bukan waktu yang pas untuk menonton bekantan. Sebab kawanan bekantan akan berkumpul ke dalam hutan.
Sebaliknya, bila kemarau, bekantan akan duduk-duduk di pinggir sungai. Bahkan sampai ke jalan desa. “Mereka mimak (jinak),” tutupnya. (Bersambung)