Dalam perjalanan mudik, ketika diharuskan berbuka puasa di tengah jalan, pundut nasi bisa menjadi pengganjal perut.

Oleh: ZULQARNAIN, Batulicin

HARI semakin sore. Waktu berbuka puasa tiba. Utsman, mahasiswa asal Kabupaten Tanah Bumbu itu berhenti sejenak di pinggir jalan. Rumah makan di Pelaihari masih lumayan jauh. Ia tengah menuju rumah neneknya di Banjarmasin. Utsman memilih berangkat sore untuk menghindari cuaca terik. Utsman membuka botol air mineral untuk membatalkan puasanya. Lalu mengeluarkan pundut nasi dari ranselnya. Bekal itu dibawanya dari rumahnya di Sungai Danau, Satui. 

Pundut nasi diolah dari beras dan santan, diguyur bumbu masak habang dan dibungkus daun pisang. Ukurannya minimalis. Cocok untuk pengganjal perut. Penunda lapar sampai Utsman bertemu warung. 

“Saya dibelikan ibu. Katanya buat berjaga-jaga kalau nggak ketemu rumah makan buat berbuka,” ungkapnya kepada Radar Banjarmasin. Bagi masyarakat Banjar, pundut nasi adalah makanan yang populer. Walaupun masih kalah terkenal dari soto banjar atau ketupat kandangan. Namun, pundut nasi yang lazim disajikan untuk sarapan ini patut dicoba. Apalagi di musim mudik yang berkejaran dengan waktu. 

Soal rasa, pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat ini menyebut rasanya lembut dan gurih. “Kalau panas, tentu rasanya lebih enak. Sayang, kemarin sudah keburu dingin,” ujarnya. Ia menduga, aroma harum pundut nasi itu datang dari santannya. “Lauknya kemarin pakai telur asin. Ukurannya, cocok buat pengganjal,” tambahnya. 

Magrib itu, Utsman menghabiskan dua porsi pundut nasi, sebelum tiba di sebuah rumah makan padang di Pelaihari.

Pernahkah Pian berbuka dengan pundut nasi? (gr/fud)