Pulau Kembang: Konon dari Bangkai Kapal Inggris

- Jumat, 19 Mei 2023 | 11:57 WIB
SEABAD SILAM: Potret penduduk dan kera di kawasan Pulau Kembang pada tahun 1938. | FOTO: KOLEKSI STICHTING NATIONAL MUSEUM VAN WERELDCULTUREN, LEIDEN
SEABAD SILAM: Potret penduduk dan kera di kawasan Pulau Kembang pada tahun 1938. | FOTO: KOLEKSI STICHTING NATIONAL MUSEUM VAN WERELDCULTUREN, LEIDEN

ORANG Banjar menamainya Pulau Kembang. Orang Belanda menyebutnya Pulau Kera. Delta ini berada di Sungai Barito. Masuk wilayah Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala. Walaupun ketimbang ke Marabahan, sebenarnya Pulau Kembang lebih dekat dengan Kota Banjarmasin di bagian barat. 

Pulau Kembang kerap didatangi pelancong yang ingin melihat kera ekor panjang dan bekantan dari dekat. Pulau yang tak dihuni manusia ini memiliki luas 60 hektare. Selain hutan wisata, Pulau Kembang juga menyandang status kawasan konservasi di bawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel.

Namun, tahulah Pian sejarah di balik Pulau Kembang? Menyadur buku ‘Bandarmasih Tempo Doeloe’ yang ditulis dosen sejarah Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, Pulau Kembang sudah menjadi tujuan wisata sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. 

Orang Belanda menyebutnya dengan nama Apeneiland, artinya pulaunya para kera. Catatan paling awal tentang pulau ini dimulai pada 1698. Mansyur merujuk pada catatan Idwar Saleh (1981-1982). Kala itu, para pedagang Inggris berusaha membuka kantor dagang di Banjarmasin. Sementara hubungan Inggris dengan Kerajaan Banjar sedang tegang.  Untuk menyingkirkan Inggris, Sultan Banjar meminta bantuan penduduk asli pedalaman dari golongan Biaju yang hidup di pesisir Barito. 

Pada malam hari, terjadi penyerangan. Orang Biaju turun ke Muara Cerucuk. Menyerang pedagang Inggris. Mereka bersembunyi di kapal dengan senjata lengkap. Dalam penyerangan itu, dua kapal armada Inggris dibakar. “Seorang pria bernama Hoogh Chamber yang berusaha kabur dari penyerangan itu juga ikut terbakar,” tutur Mansyur. 

Penyerangan itu harus dipandang dalam konteks perebutan akses perdagangan lada yang berpusat di Pulau Tatas, pusat kota Banjarmasin sekarang. Saat itu, Bernard te Lintelo (1752-1757) bertindak sebagai pemimpin Belanda yang dilanjutkan R Ringholm (1757-1764). “Menurut cerita turun temurun yang dikumpulkan Idwar Saleh, bangkai kapal Inggris itu akhirnya tertutupi sedimentasi Sungai Barito,” tekan Mansyur. 

Bangkai kapal lambat laun ditumpuki lumpur sungai hingga menjadi delta. Inilah yang kemudian disebut Pulau Kembang. Dari situ muncul berbagai tafsir. Versi pertama mengatakan, tanah yang muncul di permukaan sungai itu mengambang atau meluap hingga Pulau Kembang juga dinamai Pulau Maluap.

Versi kedua, setelah pulau muncul ke permukaan air, ia tumbuh menjadi hutan dan habitat kera. Warga desa di sekitar Pulau Kembang menganggap bahwa para kera merupakan jelmaan makhluk gaib yang mengenakan sarungan (jubah) kera. Kelompok itu dipimpin oleh kera bertubuh besar bernama Si Anggur. Dalam praktiknya, pulau ini kerap didatangi orang-orang yang membawakan sesajen berupa pisang, telur, dan nasi ketan. 

Sesajen ini biasanya disertai mayang pinang dan kembang, diberikan kepada kawanan monyet.

Sesajen itu merupakan cara mereka untuk melunasi nazarnya. “Selanjutnya, pulau tempat orang berhajat dan menabur kembang ini akhirnya disebut penduduk sekitar dengan nama Pulau Kembang,” pungkas Mansyur. (war/gr/fud)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X