Putraku Hilang Ditelan Jumat Kelabu

- Rabu, 24 Mei 2023 | 11:09 WIB
Kuburan massal Jumat kelabu
Kuburan massal Jumat kelabu

Bagaimana keluarga korban Jumat Kelabu berdamai dengan masa lalu yang kelam? Merelakan kepergian yang tersayang, tanpa tahu harus berziarah ke mana, adalah puncak keikhlasan.

***

Jika diungkit tentang putranya, Masrudah merasa ngilu. Perempuan 87 tahun itu tinggal di Jalan Kelayan A Gang Setia Budi, Banjarmasin Selatan. “Tak ada yang tahu keberadaannya. Apakah dia sudah mati dan dikubur bersama korban yang lain, aku tidak tahu sama sekali,” ujarnya. “Tetapi aku sudah mengikhlaskannya. Aku terus mendoakannya,” sambungnya.

Safruddin adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ketika hilang pada 23 Mei 1997 itu, umurnya sudah 35 tahun. Siang itu, Masrudah mendengar cerita dari tetangganya bahwa terjadi kerusuhan di kawasan Mitra Plaza, Jalan Pangeran Antasari. 

Saat itu, Udin masih berada di rumah. Beberapa kawannya datang mengajaknya untuk keluar menonton, tapi Udin enggan. Masrudah pun menegur mereka agar berdiam diri saja di rumah. Putranya menurut. Namun, bakda isya, ternyata diam-diam Udin keluar rumah tanpa sepengetahuan ibunya. 

Menurut keterangan saksi mata, Udin terakhir kali terlihat di perempatan lampu merah Jalan Kolonel Sugiono bersama Kasful Yani. Kasful adalah teman satu gang. Lebih muda dari Udin. Nasibnya sama, Kasful juga hilang ditelan Jumat Kelabu. Jarak antara Gang Setia Budi dan perempatan itu sekitar dua kilometer.

Lewat siaran radio, kakak Udin, Wahyu mendengar pengumuman dari pihak berwenang. Bahwa jika perusuh tak bisa dipukul mundur, maka aparat keamanan akan mengambil tindakan tegas.

Mendengar itu, Masrudah menangis memikirkan Udin. “Mendekati jam 10 malam, aku semakin waswas. Apalagi mendengar rumor ditembak di tempat itu,” ujarnya. Walaupun sudah berkepala tiga, Udin masih bujangan. Kerjanya serabutan.  Oleh teman sebayanya, ia akrab disapa Udin Ambon. Mungkin karena rambutnya yang keriting. Masrudah yang histeris, mengundang perhatian tetangga. Banyak yang datang untuk menenangkannya. 

Seorang polisi yang ngontrak rumah di dekatnya juga datang untuk menyabarinya. Besoknya, Masrudah dan Wahyu berkeliling mencari Udin. Di kamar pemulasaran jenazah Rumah Sakit Ulin, keduanya melihat tumpukan mayat yang hangus menghitam.

“Kata orang yang duduk di sana, mayat-mayat di dalam karung itu merupakan maling-maling (penjarah). Anak saya marah mendengar perkataannya,” kisahnya. 

Hingga pada satu titik, mereka mendatangi orang pintar. Dari terawangannya, si cenayang mengaku melihat Udin berada di tengah keramaian.  “Seumur hidup aku tak pernah terpisah dengan Udin. Begitu menerima musibah ini, aku tak keruan makan selama tiga bulan,” ujarnya. Masrudah mengenang Udin sebagai anak yang berbakti. Begitu suaminya (ayahnya) meninggal, Udin lah yang menjadi tulang punggung keluarga.

“Dia anak yang baik. Dia yang membantu mencari makan untukku dan saudara-saudaranya. Sampai-sampai dia memilih tak menikah demi kerjaan. Dulu dia mengelas, terkadang menarik becak. Apapun dia kerjakan asal halal,” ujarnya.

“Untuk mengenangnya, setiap tahun kami mengadakan haul. Mendoakan semoga dia nyaman di alam sana. Walaupun kami tak tahu di mana kuburnya,” tutupnya.

Tak Terpikir untuk Menuntut

Putra Hayati juga tewas dalam Jumat Kelabu. Bedanya dengan Masrudah, ia berhasil menemukan jasad anaknya dan menguburkannya secara layak. Hayati kini berumur 60 tahun. Tinggal di Jalan Kelayan B Gang Ar-Raudah, Banjarmasin Selatan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X