Ilmu padi mengatakan, makin berisi makin merunduk. Kondisi ekonomi mengatakan sebaliknya, harga beras menolak merunduk.
***
BANJARMASIN – Pedagang nasi kuning di Pasar Lama, Banjarmasin Tengah, kelimpungan menghadapi kenaikan harga beras. “Sempat bertahan di harga Rp8 ribu per bungkus, sementara beras sudah Rp15 ribu per liter waktu itu,” kata Adi Heriyani, salah seorang pemilik warung nasi kuning di Pasar Lama, (18/9).
Pria 41 tahun itu terpaksa mengikuti jejak pedagang lainnya. Menaikkan harga dari Rp8 ribu per bungkus menjadi Rp10 ribu. Di warung miliknya, Adi menjual nasi kuning bungkusan dengan variasi lauk ayam, telur, dan ikan haruan (gabus). “Jika daging ayam atau telur yang mahal, masih bisa disiasati. Tetapi jika beras yang mahal, kami pasti bingung,” ujarnya.
“Bandingkan dengan zaman Pak SBY. Saya masih bisa menabung untuk membeli emas. Sekarang, keuntungan berdagang habis untuk biaya hidup keluarga,” tambahnya. Dari memasak nasi kuning hingga membungkus, Adi mengerjakannya bersama istrinya. Sementara untuk menjaga warung, ia mengupah orang lain.
Kenaikan harga bahan pangan ini jelas bukan yang pertama. Adi mengenang, dulu bisa menjual 300 sampai 400 bungkus nasi kuning sehari. Sekarang rata-rata cuma laku 65 bungkus sehari. Bisa tembus seratus, kalau ada pesanan khusus.
“Dulu bisa masak 40 liter beras dalam sehari. Sekarang cuma 10 liter (90 bungkus),” keluhnya. Itu baru beras, belum kenaikan harga lainnya. Contoh pelepah pisang untuk membungkus nasi kuningnya. “Sebab saya tak memakai kertas pembungkus,” ujarnya.
Namun, kalau mau mendang mending, Adi masih mensyukuri kondisinya. Warung yang ia tempati merupakan warisan neneknya. Jadi Adi tak perlu memikirkan uang sewa seperti pedagang lainnya. “Di situ saya merasa terbantu. Andaikan menyewa, bakal jutaan rupiah,” pungkas Adi.
Tak jauh dari Jembatan Pasar Lama, sesama pedagang nasi kuning, Syamsudin sempat berharap akan ada perbaikan ekonomi setelah pandemi covid berlalu. Namun, pria 49 tahun itu belum melihat tanda-tanda keadaan akan membaik. “Beras sudah Rp900 ribu per karung,” keluhnya. “Mau menaikkan harga, tapi sekarang saja sudah kurang laku,” tambahnya.
“Sekarang paling banter laku 75 bungkus sehari. Saya menyadari, pembeli berkurang karena pendapatan (penghasilan) mereka juga sedang sakit,” ujarnya.
Harga beras di Banjarmasin mengalami kenaikan antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribu per karung. “Sudah terjadi beberapa bulan terakhir,” kata Siti Rahmah, pedagang beras di Jalan Pasar Pagi, Muara Kelayan, kemarin (18/9). Disebutkannya, harga beras pamanukan semula Rp700 ribu per karung isi 50 kilogram. Sekarang sudah Rp800 ribu. Begitu pula dengan beras thailand, dari Rp600 ribu per karung kini menjadi Rp700 ribu.
Sedangkan untuk beras banjar, untuk beras mutiara, naik dari Rp650 ribu menjadi Rp700 ribu per karung. Kenaikan juga terjadi pada beras mayang, dari Rp680 ribu menjadi Rp800 ribu.
Kemudian beras unus, dari Rp630 ribu menjadi Rp700 ribu. Beras siam dari Rp580 ribu menjadi Rp630 ribu. “Beras ganal juga naik, biasanya Rp500 ribu per karung, sekarang sudah Rp550 ribu,” kata Rahmah. Menurutnya, ketika harga beras lokal sedang mahal, pembeli biasanya akan berpindah ke beras jawa yang lebih murah.
Namun, sama saja, harganya juga naik. Dari Rp300 ribu per karung (isi 25 kilogram) menjadi Rp350 ribu. Sedangkan isi 5 kg seharga Rp70 ribu.
“Gara-gara harga beras jawa naik, beras banjar dan lainnya ikut-ikutan naik,” ujarnya. 15 tahun berdagang beras, Rahmah menilai, kenaikan harga berjemaah ini terjadi sejak pemerintah menyetop beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Padahal, kehadiran SPHP sudah tepat untuk mengendalikan harga di pasar.
Dia yakin, harga beras takkan turun sampai dua tiga bulan ke depan. “Karena petani di Banua sekarang sedang panen. Paling lama tiga bulan, nanti kembali turun,” pungkasnya.
Bagaimana tanggapan para ibu? Lina, warga Jalan Veteran, Banjarmasin Timur, mengaku sempat syok. “Biasanya beli unus seharga Rp580 ribu per karung. Sekarang sudah tembus Rp630 ribu,” keluhnya.
Karena lidah keluarganya tidak cocok dengan beras luar, Lina pun tetap membelinya, sekalipun mahal. “Mau tak mau,” tukasnya. (lan/gmp/az/fud)