“Belajar tanpa berpikir, tidak ada gunanya. Tapi, berpikir tanpa belajar, sangat berbahaya”.
Bung Karno
Oleh: ANDI TENRI SOMPA
Ketua KPU Kalsel
Bapak Revolusi sekaligus Bapak Bangsa (The Founding Fathers) yang merumuskan konsep Pancasila, Bung Karno, berujar bahwa belajar tanpa berpikir, tidak ada gunanya.
Sementara berpikir tanpa belajar, itu lebih berbahaya. Belajar adalah pondasi utama yang menopang kemampuan untuk berpikir. Karena berpikir adalah proses untuk mengetahui, kemudian memahami, lalu bersikap dan bertindak berdasarkan apa yang dipelajari.
Belajar dan berpikir adalah dua hal substantif yang membuat manusia menjadi lebih bijak dan humanis. Dua hal itu pula yang membedakan manusia secara etis dengan makhluk Tuhan lainnya—yang lebih mengandalkan naluri dan insting hewaninya. Kalau manusia belajar tanpa berpikir, atau sebaliknya, berpikir tanpa belajar, bisa dikatakan termasuk orang yang merugi.
Dalam hidup, dalam hal apapun, alangkah baiknya kita mau belajar dari pengalaman. Karena pengalaman adalah guru yang paling berharga. Pengalaman mengajarkan kita tentang kesalahan dan kegagalan. Tentu saja untuk memperbaiki dan menjadi lebih baik. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan berpolitik, sudah seharusnya belajar dan berpikir untuk menjadi lebih baik dan semakin baik.
Dalam konteks Pemilu 2024, dari pengalaman pemilu yang lalu, kita belajar bahwa ternyata partisipasi publik dalam perhelatan pemilu bisa membawa perubahan. Dari pengalaman pemilu lalu pula, kita bisa berpikir bahwa pilihan politik didasarkan atas pertimbangan transaksional adalah rasionalitas yang keliru. Pahami dulu, bahwa tak ada pemikiran manusia yang sempurna. Demikian pula dengan semua keputusan dan pilihan politik yang dibuat dari proses belajar dan berpikir.
Setidaknya, dengan belajar dan berpikir, kita bisa memilih dan menentukan mana yang terbaik, dan tentunya paling kecil risiko dan dampak buruknya. Tentu saja, sebuah pilihan dari hasil proses berpikir tak menjamin selalu baik dan benar. Sebagai makhluk yang diberi anugerah akal untuk berpikir, itulah nilai etis dan moral kita, dan menjadikan diri kita sebagai manusia.
Dengan kata lain, Bung Karno mengingatkan kita, belajar lah dengan akal pikiran, dan berpikirlah dengan cara belajar. Dengan begitu, kita memantaskan dan menghargai diri kita secara manusiawi sebagai makhluk yang berpikir, dan karena itu kita ada. Mari kita belajar dan berpikir, bahwa pendiri bangsa ini telah mengingatkan agar kita selalu menempatkan akal sehat sebagai kaidah berpikir yang benar.
Jangan sampai cara kita berpikir dipengaruhi oleh perasaan, asumsi, dan sangkaan, yang bisa menyesatkan rasionalitas kita. Jadilah manusia yang mampu menempatkan akal dengan cara bijak, dan menilai dengan logika akal jernih. Kalau kita mau dan mampu belajar dan berpikir dengan bijak, saya yakin kita semua akan bertemu pada satu titik pemahaman.
Bahwa pemilu adalah sarana integrasi bangsa. Kalau berpikir kita juga akan sepaham, bahwa pemilu bukan menjadi ajang adu kekuatan politik dan perebutan kekuasaan. Pemilu bukanlah ajang caci maki dan hujat menghujat yang merendahkan nilai-nilai etis dan moral kita sebagai bangsa.
Karena itu, bersikaplah dengan bijak untuk menjadi pemilih yang cerdas. Memilih dengan mendasarkan pada rasionalitas dan nurani, bukan berdasarkan sentimen dan emosi sesat. Mari, jadikanlah pemilu sebagai sarana integrasi bangsa. Berpartisipasilah dengan memilih berdasarkan pilihan akal dan nurani.
Yakin dan percayalah, bahwa berpikir dengan akal akan menuntun kita untuk bersikap lebih bijak. Sikap yang bijak akan membawa kita pada nilai-nilai kebaikan. Pada akhirnya, kebaikan akan membawa pada perubahan ke arah yang lebih baik.(*)
