Tidak mudah mengajar anak berkebutuhan khusus, kudu sabar dan menguras tenaga. Tapi Hafiz mampu menjalaninya sejak 2015 silam.
Oleh: BAYU ADITYA RAHMAN, Banjarbaru Selatan
Rabu (25/10) pagi, terdengar bunyi bel di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Guntung Paikat Banjarbaru. Itu tandanya para murid harus memasuki kelas untuk memulai pembelajaran.
Radar Banjarmasin datang ke sana untuk mendatangi guru pendamping anak berkebutuhan khusus (ABK) di kelas enam. Saat wartawan tiba, guru bernama Hafiz itu sedang menunggu di depan pintu kelas, rupanya para murid dan guru kelas sedang membaca doa sebelum mulai pembelajaran.
Setelah doa selesai, Hafiz masuk kelas dan mendatangi dua murid yang duduk di barisan kursi belakang. Kedua murid itu merupakan ABK yang sekolah di sana. “Sebenarnya ada tiga murid ABK di kelas enam ini, tapi satunya enggak masuk,” ucapnya.
Ketika pembelajaran dimulai, ia fokus memberikan pelajaran secara khusus kepada dua anak tersebut. Waktu itu, mata pelajarannya matematika.
Hafiz tampak aktif menggerakkan tangannya untuk menjelaskan tentang diameter lingkaran agar perhatian kedua anak itu tetap terfokus padanya. “Memang begitu kita harus aktif juga,” jelasnya kepada Radar Banjarmasin.
Hafiz sudah sekitar sembilan tahun menjadi guru pendamping di SDN 1 Guntung Paikat, setelah SK PNS-nya keluar pada 2015 silam. “Penempatan langsung di sini, dari awal menjadi tenaga pendidik ABK,” katanya.
SDN 1 Guntung Paikat memang salah satu sekolah di Banjarbaru yang menerapkan sekolah inklusi atau sekolah yang dapat mengakomodasi ABK agar dapat mengenyam pendidikan sama dengan anak lainnya.
Selain sebagai guru pendamping, ia juga bertugas sebagai konselor bagi guru kelas dan guru bidang di sekolah itu untuk memberikan pengertian tentang strategi atau metode pembelajaran yang tepat kepada ABK.
“Kami sebagai pendamping datang ketika anak sudah tak bisa ditangani secara umum lagi, dan dipisahkan ke kelas khusus,” ucap alumni Universitas Negeri Jakarta jurusan pendidikan luar biasa tersebut.
Hafiz menceritakan, minat dan ketertarikannya menjadi pengajar ABK ialah karena melihat sepupunya yang juga guru di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Namun pengalaman mendidik ABK menurutnya sangat menguras tenaga, harus sabar dan juga perlu pengertian khusus dari hati untuk mengerti keinginan murid.
“Ada yang sengaja kencing di celana untuk alasan dia bisa pulang. Sebagai akal-akalan gitu, tapi saya biarkan dengan memberi pengertian kepadanya. Sampai akhirnya berubah dan bisa kencing ke toilet sendiri,” kisahnya.
“Kalau kena tendang, diludahi itu sudah sering terjadi. Ketika itu terjadi ya saya harus mendidik mereka dengan sabar, karena sudah menjadi kewajiban bagi saya,” lanjutnya. (Bersambung)