Asing Bayar Cukai Rokok Murah, Pendapatan Negara Hilang Rp 926 Miliar

- Selasa, 3 September 2019 | 21:15 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

JAKARTA – Kelemahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 sebagai revisi PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menciptakan celah yang membuat pabrikan rokok besar yang didominasi asing membayar tarif cukai murah, sehingga penerimaan negara tidak optimal.

Pengolahan riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) terhadap data produksi April 2019 menunjukkan, potensi kehilangan pendapatan negara akibat pabrikan rokok besar membayar tarif cukai murah mencapai Rp 926 miliar. 

Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF menyatakan ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok di mana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi sigaret kretek mesin (SKM) atau SPM  tiga miliar batang.

Jumlah ini adalah batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1). 

Oleh karena itu, sejumlah kalangan mendesak pemerintah menggabungkan batasan produksi SKM dan SPM. Kebijakan ini bukanlah menggabungkan cukai SKM dan SPM dalam satu tarif.

Akan tetapi, pabrikan manapun yang jumlah produksi SKM dan SPM secara kumulatif telah mencapai tiga miliar batang harus dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori karena mereka termasuk perusahaan besar.  

Dengan begitu, perusahaan besar akan bersaing dengan pabrikan besar, dan demikian sebaliknya. "Betapa penting mengatur level playing field (tingkat persaingan berkeadilan) yang sehat tanpa mengurangi pendapatan negara," tegas Tauhid.

Berdasarkan data yang diolah INDEF, total produksi SKM dan SPM secara nasional mencapai 259,67 miliar batang. Rinciannya, SKM 242,73 miliar batang dan SPM 16,94 miliar batang. Dari produksi kedua segmen ini, penerimaan negara dari cukai adalah Rp 146,26 triliun. 

Jika batasan produksi SKM dan SPM digabung menjadi tiga miliar batang, maka terdapat 3,6 miliar batang yang diproduksi empat perusahaan multinasional -- didominasi para pemain besar asing -- yang seharusnya dikenakan tarif cukai tertinggi (golongan 1) rokok mesin SPM sebesar Rp 625 per batang. 

Artinya, terdapat potensi kehilangan pendapatan negara dari cukai SKM dan SPM sebesar Rp 926 miliar.

Jumlah kehilangan ini akan semakin besar saat produksi perusahaan besar asing yang menikmati cukai rendah semakin tinggi.  

Data INDEF bahkan menunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah. "Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal, kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang," terang Tauhid. 

Hal serupa juga terjadi pada SKM. "Jika perusahaan rokok SKM golongan 2B (tarif cukai rendah) memproduksi 1 miliar batang dengan harga jual minimum Rp 715 per batang, maka pendapatan kotornya Rp 715 miliar per tahun.

Apakah ini termasuk perusahaan kecil?” tegas Tauhid. Padahal, sesuai Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sebuah perusahaan masuk kategori besar jika penjualan mereka melampaui Rp 50 miliar per tahun. 

Halaman:

Editor: Wawan-Wawan Lastiawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X