Kisah Perjuangan Pria sebagai ODHA hingga Menjadi Pendukung Sebaya

- Sabtu, 5 Desember 2020 | 15:19 WIB

BALIKPAPAN –  Siang itu, pelayanan di salah satu rumah sakit berplat merah di Kota Balikpapan sudah dalam kondisi sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang terlihat sedang duduk sembari memainkan ponsel genggamnya.

Saat sampai di sebuah taman, kami dari Tim Prokal.co mencoba mengirim pesan melalui aplikasi pesan singkat kepada seseorang yang akan menjadi narasumber kami. Yakni seorang pria yang diketahui merupakan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

Tak lama, pria tersebut muncul. Langkahnya agak cepat, menandakan dirinya tak ingin orang lain menunggu terlalu lama. Sikapnya yang ramah dan bersemangat hampir membuat kami tak percaya jika dirinya merupakan salah seorang penderita HIV.

Kami diajak ke satu tempat yang cukup sepi, jauh dari tempat pelayanan. Disana terdapat satu set sofa kayu jati yang diletakkan di belakang jendela kaca besar, yang berhadapan langsung dengan taman depan pintu masuk halaman rumah sakit.

Rupanya tempat ini merupakan salah satu lokasi yang dijadikan oleh teman-teman Odha Balikpapan untuk saling berbagi cerita. Diar –bukan nama sebenarnya, mengatakan tempat ini dipilih karena tak banyak orang yang berlalu lalang. Selain harus menaiki tangga, tempat ini juga jauh di sudut rumah sakit dan sangat sepi.

Pembicaraan cukup santai, Diar juga menjawab pertanyaan kami dengan tenang, bahkan ada pula yang diselipkan dengan candaan. Ia mengingat kembali, awal mula dirinya berada di sini, di rumah sakit ini sebagai KDS (kelompok dukungan sebaya). Mendedikasikan dirinya sebagai seorang yang memberikan dukungan kepada pasien odha lainnya.

Tak dapat dipungkiri, hal tersebut juga karena dirinya sendiri. Tepat lima tahun silam, saat pertama kalinya ia divonis memiliki penyakit ganas tersebut. Waktu itu usianya 23 tahun.

Pertama kali mendengarnya seakan dunianya runtuh, takut, hingga merasa tak berdaya. Lebih pada pemikiran siapa yang akan mendukungnya dan bagaimana reaksi orang tuanya jika mengetahui virus HIV sedang bersarang ditubuhnya.

Namun ia akui, penyakit yang ia katakan sebagai teguran dari tuhan ini, memang karena keadaan masa lalunya yang cukup bebas. Ia sadar aktifitas masa mudanya yang bebas itulah yang membuat dirinya harus berhadapan dengan kondisi ini. Melakukan hubungan seksual dan sering berganti pasangan.

“Saat itu saya terima kabar bahwa teman-teman saya bahkan mantan kekasih saya meninggal karena AIDS, di situ saya mulai terpikir untuk menjalani pemeriksaan,” ucapnya.

Sesaat mengetahui kabar tersebut, untungnya saja yang langsung terlintas dalam benaknya adalah tak ingin mati sia-sia seperti rekan-rekannya. Hanya karena terlambat melakukan pemeriksaan dan tak mau terbuka.

Disitulah Diar bangkit dan pelan-pelan terbuka tentang penyakitnya. Memang sulit, tapi karena ia telah bertekad akhirnya mulai ia sampaikan kepada orang tuanya terlebih dahulu.

“Memang tidak mudah. Tapi karena saya sudah bertekad dengan terbuka artinya saya siap minum obat ARV (anti-retroviral) ini terus tanpa putus. Jadi saya mulai memberitahukan dengan meletakkan obat itu diatas meja makan dan setiap hari meminumnya di situ,” ujarnya.

Lama-kelamaan ibunya mulai sadar dan sempat menanyakan perihal obat tersebut. Tapi dirinya tak menjawab. Memang sengaja. Ia memberi kesempatan pada ibunya untuk mencaritahu sendiri soal obat itu.

Halaman:

Editor: Wawan-Wawan Lastiawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X